Diskusi Naskah Bersama Dr. Munawar Holil, Ketua Umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara (MANASSA).
Dalam diskusi yang berlangsung santai dan gayeng ini Kang Mumu, begitu beliau biasa dipanggil, banyak bercerita pengalamannya bergelut dengan naskah sejak tahun 1994 sampai sekarang. Fokus lelaki Sunda ini adalah kajian kodikologi, atau fisik naskah. Mulai dari penelusuran dan pelacakan, lalu reservasi dan perawatan, kemudian digitalisasi dan penyusunan katalog. Sebelumnya, Dr. M. Khusna Amal, dekan Fakultas Ushuluddin, Adab dan Humaniora (FUAH) IAIN Jember, menyampaikan harapan supaya MANASSA bisa mengadakan kerja sama yang intensif dengan FUAH. Dengan demikian bisa dihasilkan penelitian-penelitian yang serius dan berbobot di bidang naskah, khususnya naskah yang ada di kawasan Pandalungan (Jember dan sekitarnya). Menanggapi pernyataan dekan, Kang Mumu justru bertanya balik: sudah adakah data yang valid berapa jumlah total naskah atau manuskrip di kawasan ini? Siapa saja pemiliknya? Di mana disimpan? Apa saja fungsinya? Apakah naskah itu masih merupakan tradisi yang hidup atau hanya disimpan saja? Apakah benar kita mau bergelut dengan naskah secara serius dan total? Selanjutnya, dosen FIB UI itu mengutip Prof. Dr. Edwin P. Wieringa, mengetengahkan fakta bahwa di antara ribuan naskah Nusantara yang sangat kaya itu, baru sedikit pengetahuan kita tentangnya. Mengapa kita tidak tertarik untuk mengkajinya? Bagaimana hal itu bisa terjadi? Kang Mumu mencoba menjawab pertanyaan itu sendiri: mungkin karena selama ini perspektif filologi adalah untuk filologi itu sendiri. Masa bodoh dengan pandangan umum: apakah mereka tertarik dengan filologi atau justru tidak tahu menahu tentang tentangnya? Maka, kajian interdisipliner adalah sebuah keniscayaan. Filologi harus berkolaborasi dengan disiplin-disiplin ilmu yang lain supaya naskah-naskah yang sangat kaya itu bisa berbicara kepada khalayak dan mendapatkan perhatian dari masyarakat luas, khususnya kaum Milenial. Kang Mumu lalu mencontohkan penyusunan buku obat-obatan Melayu hasil kolaborasi para filolog Melayu dengan ahli farmasi. Ada juga kajian tentang khasiat ramuan (obat kuat) Madura oleh seorang pakar farmasi di Surabaya dengan juga memanfaatkan hasil kajian naskah kuno. Contoh yang lebih konkrit lagi adalah pembuatan film animasi dari naskah I La Galigo dan Babad Diponegoro yang dilakukan oleh Perpusnas berkerjasama dengan MANASSA. Pria yang tinggal di Tangerang itu lalu menantang para dosen IAIN Jember untuk meneliti berbagai macam naskah keislaman dalam berbagai macam disiplin dan perspektif yang baru dan selama ini belum dilakukan. Ini kalau kampus benar-benar ingin mewujudkan jargonnya sebagai pusat kajian Islam Nusantara. Misalkan: mengakaji peran kyai sebagai broker kebudayaan dalam proses perawatan dan digitalisasi naskah, dengan memanfaatkan pendekatan ilmu antropologi dan komunikasi. Akhirnya, Kang Mumu mengenengahkan sebuah ancaman bagi dunia Pernaskahan: yaitu para calo dan pedagang naskah. Di satu sisi, mereka ini adalah penghambat utama bagi digitalisasi naskah. Di sisi lain, mereka sangat mungkin akan menjual naskah-naskah luhur kita ke luar negeri. Tapi, apakah mereka lalu harus dimusuhi? Langkah yang paling tepat tidak demikian, kata Kang Mumu. Mungkin akan lebih bijak jika kita mendekati mereka, mengajak mereka bersama-sama menjaga, merawat, dan melestarikan naskah. Tentu ini butuh dukungan pendanaan (anggaran) dan keterlibatan langsung pemerintah, misalkan lewat perpusnas. Khusus untuk ruang lingkup IAIN Jember, perlu adanya pusat studi naskah yang menjadi shelter sekaligus payung bagi semua insan pernaskahan di Jember dan sekitarnya. (badrus Sholihin)